SBY Sang Demokrat adalah buku biografi SBY yang ditulis oleh Usamah Hisyam dan kawan-kawan. Untuk memahami sosok SBY secara utuh buku biografi ini ditulis dalam 14 BAB, dengan prolog dan epilog disertai dengan foto-foto peristiwa yang berkaitan dengan kegiatannya.
Buku ini disajikan cukup lengkap berbagai kisah latar belakang keluarga SBY, masa kecil dan remaja, masa pendidikan dan karier dalam kemiliteran dari medan tempur hingga menjadi pimpinan TNI, pengalaman sebagai menteri, sejumlah ide dan gagasannya tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta pengalaman dalam dunia internasional dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis.
Secara mengalir dan cair, buku ini mampu menceritakan tentang bagaimana SBY yang dilahirkan di Pacitan, 9 September 1949, bisa menjalani hidupnya yang nyaris sesuai dengan arti nama yang diberikan orang tuanya yang bermakna "seorang yang punya kesetiaan lebih dan berhasil memenangkan setiap peperangan" (Susilo berarti lebih, Bambang berarti kesetiaan dan Yudhoyono bermakna menang perang).
Mengenai keteladanan orang tua yang mempengaruhi SBY, dalam buku ini diterangkan bagaimana ia berteladan pada ayah. Hal itulah yang membuatnya berdedikasi tinggi ketika menjalankan tugas. Juga bagaimana peristiwa keterpisahannya dengan orangtua adalah peristiwa yang mencemaskan, namun justru berhasil membuat SBY tumbuh menjadi anak yang belajar mandiri.
Mengenai ketertarikan dan minat SBY terhadap dunia militer, diceritakan bahwa sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), putra pasangan Soekotjo dan Siti Habibah itu sudah tertarik dengan dunia militer yaitu ketika melihat anggota militer latihan perang di desanya, Purwosari, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, Jawa timur. Ketika duduk di kelas 5 SR, ayahnya mengajaknya pesiar mengunjungi Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Tentu saja Susilo kecil sangat tertarik melihat para taruna sedang pesiar
Sejak sekolah di SR itu pula, Susilo sering mendapat tugas dari kepala sekolahnya sebagai komandan. Untuk kegiatan gerak jalan, misalnya, ia ditunjuk menjadi komandan peleton SR Gadjahmada. Hasilnya, mereka keluar sebagai juara pertama kelompok putra Lomba Gerak Jalan antar-SR Tingkat Kabupaten Pacitan. Selain itu, pada upacara bendera setiap Senin, ia selalu menjadi komandan upacara, hingga lulus dengan nilai terbaik, pada Juli 1962.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Susilo selalu terpilih menjadi komandan. Tahun 1973, ia menjadi Komandan Divisi Korps Taruna di AMN, dan selalu menjadi komandan upacara pada setiap upacara, termasuk penyambutan petinggi militer dari luar negeri. Pada 1994, menantu Sarwo Edhi Wibowo ini menjadi Komandan Upacara HUT RI di Istana Merdeka, dengan inspektur upacara Presiden Soeharto.
SBY sebagai lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973, tercatat berhasil memegang sejumlah jabatan penting di pasukan sebagai Komandan Brigade Infantri Lintas Udara 17/Kujang/Kostrad pada tahun 1993 dengan pangkat kolonel infantri, menjadi komandan pasukan Indonesia dalam tugas di Bosnia, dan sejak itu dia menempati posisi-posisi teritorial mulai dari Danrem Pamungkas di Yogyakarta hingga Pangdam Sriwijaya, dan akhirnya peran sosial politik sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI (1998).
Buku ini juga berhasil menceritakan mengenai loyalitas SBY yang begitu tinggi. Dituliskan bahwa sewaktu karir SBY di dunia militer sedang menanjak, dan dirinya sedang diproyeksikan menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memintanya menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) dalam Kabinet Persatuan Nasional. Meski awalnya berat hati, suami Kristiani Herrawati itu akhirnya loyal pada permintaan pimpinannya, presiden RI, karena ia beranggapan, pengabdian terhadap bangsa dan negara tak dibatasi di jalur militer saja. Banyak langkah yang dilakukannya selama menjabat Mentamben, antara lain restrukturisasi Pertamina, mengatasi krisis BBM serta menyiapkan RUU Migas. Semasa pemerintahan Gus Dur itu pula, SBY ditunjuk sebagai Menko Sospolkam.
Sewaktu Gus Dur dilengserkan, kemudian diganti Megawati, terjadi kekosongan kursi wakil presiden. Sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDIP, Golkar, Utusan Golongan dan Kesatuan Kebangsaan Indonesia memintanya mencalonkan diri menjadi wapres. SBY, yang menerima tawaran itu, akhirnya dikalahkan oleh Hamzah Haz. SBY menerima kekalahan dengan lapang dada. Ia menerimanya secara ikhlas sebagai realitas politik.
Dalam hal persinggungan SBY dan keterlibatannya dengan dunia politik, buku ini mampu menceritakan pergulatan politik yang dialami SBY sampai akhirnya menemukan pelajaran yang bisa dipetik SBY dari kekalahannya dalam pemilihan wapres, yaitu kenyataan bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung tinggi norma dan etika demokrasi. Ia harus berjuang melalui partai. Karena itu, SBY mematangkan pembentukan Partai Demokrat. Secara jangka panjang, SBY menginginkan partai politik yang memiliki garis ideologi yang nyaman, tidak terkotak-kotak dalam partai Islam, nasionalis, apalagi sekuler. Partai Demokrat merumuskan ideologi partai menjadi nasionalis religius. Sekarang, SBY melangkah mulus ke tangga istana, bukan lagi sebagai wapres, melainkan Presiden RI.
Buku ini benar-benar mampu mengungkap sosok kepemimpinan SBY yang memang pantas diteladani. Betapa SBY tetap tenang, dingin dan santun menuangkan pikirannya. Misalnya, berkaitan dengan pencopotan dirinya sebagai Menkopolsoskam oleh Gusdur. SBY memang memperlihatkan bakat kepemimpinan sejak dia muda. Bahkan semasa menjadi sersan mayor taruna di AKABRI dia pernah menjabat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna, yang membawahi sekitar 3.000 taruna AKABRI Umum dan Darat mulai tingkat satu sampai empat. Ada catatan-catatan mengenai keberhasilannya menyelesaikan perselisihan antara sesama taruna di angkatannya secara dingin dan tenang, dengan mengedepankan kepentingan semua.
Buku ini juga mampu menggambarkan wawasan SBY yang luas dan jauh ke depan. Misalnya salah satu pemikiran SBY tentang bagaimana bangsa ini harus melangkah ke depan? Dalam buku ini SBY menyebutkan, dalam jangka panjang, agenda utama pembangunan nasional adalah terwujudnya negara kebangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan. Untuk itu menurut SBY, bangsa ini harus melakukan langkah yang bersifat jangka panjan, antara lain: Pengembangan pondasi kebangsaan; Pengembangan identitas dan karakter bangsa; Pengembangan sistem kenegaraan dan pemerintahan yang berkelanjutan; Pengembangan wawasan kebangsaan dan inclusive; Pengembangan demokrasi yang sejalan dengan sejarah dan nilai-nilai kebangsaan; dan Pengembangan sistim demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk terus bisa memperbaharui konsensus dan nilai-nilai kontemporer.
Akhir kata, kehadiran buku ini berhasil menjawab pertanyaan banyak kalangan yang pada awalnya menafsirkan SBY sebagai tokoh yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
Berdasarkan fakta dan data empiris yang diperoleh penulis dari puluhan narasumber yang ditemuinya, ditemukan kenyataan yang menyebutkan bahwa SBY bukan sosok seperti yang dinilai banyak kalangan. Justru sebaliknya, dia adalah orang yang sangat tegas, cerdas, nasionalis, islamis, dan demokratis.
Buku ini disajikan cukup lengkap berbagai kisah latar belakang keluarga SBY, masa kecil dan remaja, masa pendidikan dan karier dalam kemiliteran dari medan tempur hingga menjadi pimpinan TNI, pengalaman sebagai menteri, sejumlah ide dan gagasannya tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta pengalaman dalam dunia internasional dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis.
Secara mengalir dan cair, buku ini mampu menceritakan tentang bagaimana SBY yang dilahirkan di Pacitan, 9 September 1949, bisa menjalani hidupnya yang nyaris sesuai dengan arti nama yang diberikan orang tuanya yang bermakna "seorang yang punya kesetiaan lebih dan berhasil memenangkan setiap peperangan" (Susilo berarti lebih, Bambang berarti kesetiaan dan Yudhoyono bermakna menang perang).
Mengenai keteladanan orang tua yang mempengaruhi SBY, dalam buku ini diterangkan bagaimana ia berteladan pada ayah. Hal itulah yang membuatnya berdedikasi tinggi ketika menjalankan tugas. Juga bagaimana peristiwa keterpisahannya dengan orangtua adalah peristiwa yang mencemaskan, namun justru berhasil membuat SBY tumbuh menjadi anak yang belajar mandiri.
Mengenai ketertarikan dan minat SBY terhadap dunia militer, diceritakan bahwa sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), putra pasangan Soekotjo dan Siti Habibah itu sudah tertarik dengan dunia militer yaitu ketika melihat anggota militer latihan perang di desanya, Purwosari, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, Jawa timur. Ketika duduk di kelas 5 SR, ayahnya mengajaknya pesiar mengunjungi Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Tentu saja Susilo kecil sangat tertarik melihat para taruna sedang pesiar
Sejak sekolah di SR itu pula, Susilo sering mendapat tugas dari kepala sekolahnya sebagai komandan. Untuk kegiatan gerak jalan, misalnya, ia ditunjuk menjadi komandan peleton SR Gadjahmada. Hasilnya, mereka keluar sebagai juara pertama kelompok putra Lomba Gerak Jalan antar-SR Tingkat Kabupaten Pacitan. Selain itu, pada upacara bendera setiap Senin, ia selalu menjadi komandan upacara, hingga lulus dengan nilai terbaik, pada Juli 1962.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Susilo selalu terpilih menjadi komandan. Tahun 1973, ia menjadi Komandan Divisi Korps Taruna di AMN, dan selalu menjadi komandan upacara pada setiap upacara, termasuk penyambutan petinggi militer dari luar negeri. Pada 1994, menantu Sarwo Edhi Wibowo ini menjadi Komandan Upacara HUT RI di Istana Merdeka, dengan inspektur upacara Presiden Soeharto.
SBY sebagai lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973, tercatat berhasil memegang sejumlah jabatan penting di pasukan sebagai Komandan Brigade Infantri Lintas Udara 17/Kujang/Kostrad pada tahun 1993 dengan pangkat kolonel infantri, menjadi komandan pasukan Indonesia dalam tugas di Bosnia, dan sejak itu dia menempati posisi-posisi teritorial mulai dari Danrem Pamungkas di Yogyakarta hingga Pangdam Sriwijaya, dan akhirnya peran sosial politik sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI (1998).
Buku ini juga berhasil menceritakan mengenai loyalitas SBY yang begitu tinggi. Dituliskan bahwa sewaktu karir SBY di dunia militer sedang menanjak, dan dirinya sedang diproyeksikan menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memintanya menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) dalam Kabinet Persatuan Nasional. Meski awalnya berat hati, suami Kristiani Herrawati itu akhirnya loyal pada permintaan pimpinannya, presiden RI, karena ia beranggapan, pengabdian terhadap bangsa dan negara tak dibatasi di jalur militer saja. Banyak langkah yang dilakukannya selama menjabat Mentamben, antara lain restrukturisasi Pertamina, mengatasi krisis BBM serta menyiapkan RUU Migas. Semasa pemerintahan Gus Dur itu pula, SBY ditunjuk sebagai Menko Sospolkam.
Sewaktu Gus Dur dilengserkan, kemudian diganti Megawati, terjadi kekosongan kursi wakil presiden. Sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDIP, Golkar, Utusan Golongan dan Kesatuan Kebangsaan Indonesia memintanya mencalonkan diri menjadi wapres. SBY, yang menerima tawaran itu, akhirnya dikalahkan oleh Hamzah Haz. SBY menerima kekalahan dengan lapang dada. Ia menerimanya secara ikhlas sebagai realitas politik.
Dalam hal persinggungan SBY dan keterlibatannya dengan dunia politik, buku ini mampu menceritakan pergulatan politik yang dialami SBY sampai akhirnya menemukan pelajaran yang bisa dipetik SBY dari kekalahannya dalam pemilihan wapres, yaitu kenyataan bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung tinggi norma dan etika demokrasi. Ia harus berjuang melalui partai. Karena itu, SBY mematangkan pembentukan Partai Demokrat. Secara jangka panjang, SBY menginginkan partai politik yang memiliki garis ideologi yang nyaman, tidak terkotak-kotak dalam partai Islam, nasionalis, apalagi sekuler. Partai Demokrat merumuskan ideologi partai menjadi nasionalis religius. Sekarang, SBY melangkah mulus ke tangga istana, bukan lagi sebagai wapres, melainkan Presiden RI.
Buku ini benar-benar mampu mengungkap sosok kepemimpinan SBY yang memang pantas diteladani. Betapa SBY tetap tenang, dingin dan santun menuangkan pikirannya. Misalnya, berkaitan dengan pencopotan dirinya sebagai Menkopolsoskam oleh Gusdur. SBY memang memperlihatkan bakat kepemimpinan sejak dia muda. Bahkan semasa menjadi sersan mayor taruna di AKABRI dia pernah menjabat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna, yang membawahi sekitar 3.000 taruna AKABRI Umum dan Darat mulai tingkat satu sampai empat. Ada catatan-catatan mengenai keberhasilannya menyelesaikan perselisihan antara sesama taruna di angkatannya secara dingin dan tenang, dengan mengedepankan kepentingan semua.
Buku ini juga mampu menggambarkan wawasan SBY yang luas dan jauh ke depan. Misalnya salah satu pemikiran SBY tentang bagaimana bangsa ini harus melangkah ke depan? Dalam buku ini SBY menyebutkan, dalam jangka panjang, agenda utama pembangunan nasional adalah terwujudnya negara kebangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan. Untuk itu menurut SBY, bangsa ini harus melakukan langkah yang bersifat jangka panjan, antara lain: Pengembangan pondasi kebangsaan; Pengembangan identitas dan karakter bangsa; Pengembangan sistem kenegaraan dan pemerintahan yang berkelanjutan; Pengembangan wawasan kebangsaan dan inclusive; Pengembangan demokrasi yang sejalan dengan sejarah dan nilai-nilai kebangsaan; dan Pengembangan sistim demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk terus bisa memperbaharui konsensus dan nilai-nilai kontemporer.
Akhir kata, kehadiran buku ini berhasil menjawab pertanyaan banyak kalangan yang pada awalnya menafsirkan SBY sebagai tokoh yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
Berdasarkan fakta dan data empiris yang diperoleh penulis dari puluhan narasumber yang ditemuinya, ditemukan kenyataan yang menyebutkan bahwa SBY bukan sosok seperti yang dinilai banyak kalangan. Justru sebaliknya, dia adalah orang yang sangat tegas, cerdas, nasionalis, islamis, dan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar dan saran anda dibutuhkan untuk kemajuan blog ini