Fraksi Demokrat DPRD Kota Kediri

Ketua Fraksi : Yudi Ayubchan, SH
Anggota : 1. Dra. Nuraida
2. Erita Dewi
Free Layouts for MySpace

I made my layout with the Myspace Background Maker. Get myspace layouts, graphics, and flash toys at pYzam.

Kamis, 29 Oktober 2009

Harus Bisa!

Seni Memimpin Ala SBY
Buku setebal 437 halaman plus 18 halaman ini berisi penilaian Juru Bicara Presiden bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal, tentang kepemimpinan SBY. Catatan harian Dino selama mendampingi SBY, tidak ditemui hal-hal yang berisi ketidaksetujuan Dino terhadap SBY, apalagi kritik atas kekurangan SBY. Padahal SBY telah berpesan, "Dino, kalau engkau ingin menulis tentang apa yang saya pikir dan lakukan, tulislah secara obyektif. Ceritakan tentang kebenaran, say what I do, what I have done. Itu abadi, Din." Dino hanya menjawab, "Buku ini saya tulis dengan hati nurani yang bersih."
Buku ini menggiring pembaca memasuki jalan pemikiran Dino dalam mengenal watak dan kepribadian SBY. Seperti saat terjadi gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebenarnya ada "ketidaksetujuan" Dino ketika SBY memutuskan akan langsung ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari Jayapura tatkala mendengar kabar terjadi gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.
Saat itu mereka dan rombongan sedang berada di Bumi Cenderawasih untuk menghadiri perayaan Natal. Dino menyarankan SBY ke Jakarta terlebih dahulu dengan pertimbangan antara lain kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum jelas dan kedatangan di Jakarta bisa memberi waktu untuk mempersiapkan kunjungan ke Aceh yang lebih matang.
Namun Dino tak berani menunjukkan ketidaksetujuannya secara langsung ke SBY. Ia ungkapkan hal itu pada halaman 4 dengan kalimat "Jujurnya, malam itu saya masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan yang tepat."
Alhasil Dino berujar, "Keputusan Presiden SBY untuk segera `maju ke depan` dan tiba di Aceh pada hari kedua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan kebijakan pemerintah setelahnya." (halaman 6).
Sebaliknya Dino mengkritisi Amien Rais yang juga telah berada di Aceh tetapi tidak merespon tawaran SBY saat rapat darurat bersama di Pendopo Gubernur Aceh untuk memberi komentar, tambahan, atau usulan penanganan bencana dahsyat itu.
"Beliau justru memilih mengeluarkan kritik pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat bersama seluruh pejabat," tulis Dino tentang Amien Rais dalam buku yang diterbitkan oleh "Red & White Publishing" itu.
"Saya dulu kebetulan juga pengagum Amien Rais namun dari peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para pemimpin masa depan: ada masanya di mana semua pemimpin bangsa harus dapat melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis nasional."(halaman 8).
Dalam Bab I bertajuk "Memimpin Dalam Krisis", dari bencana Aceh, Dino menyimpulkan kepemimpinan SBY sangat tepat karena dalam krisis selalu berada di depan dan mengubah krisis menjadi peluang tercipta perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dari kasus penculikan wartawan Metro TV oleh gerilyawan Irak, Dino menilai SBY merespon masalah secara "realtime" (seketika). Ketika menaikkan harga BBM pada 2005 Dino menilai SBY pemimpin yang berani mengambil risiko. Saat prihatin atas penculikan bocah berusia 5 tahun bernama Raisya, SBY dinilai Dino sebagai pemimpin yang melakukan hal tepat.
Bab II bertajuk "Memimpin Dalam Perubahan" berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY dalam birokrasi. Dino menilai SBY sebagai pendobrak birokrasi.
"SBY tahu sekali bahwa birokrasi tidak akan mengubah dirinya sendiri kecuali mulai diubah oleh pimpinan politik," tulis Dino pada halaman 78.
SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang bisa melakukan transformasi diri. Menurut Dino, sejak SBY dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2004 ada empat transformasi diri yang dilakukan, yakni menjadi seorang ekonom, menjadi "crisis leader", mendudukkan diri di atas kepentingan golongan (above politics), dan menjadi negarawan internasional.
Pendek kata, menurut Dino, SBY telah memaksa diri dan dipaksa situasi untuk menggali kemampuan baru sekaligus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.

"SBY Tidak"

Bab III bertajuk "Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan" menggambarkan kepemimpinan SBY yang merakyat dan penuh ketulusan hati.
Dino memperhatikan ada teknik SBY yang baik disimak oleh calon pemimpin.
Kalau SBY menjabat tangan seseorang maka untuk dua atau tiga detik itu perhatiannya akan terfokus hanya pada orang di depannya: tangannya diremas erat, matanya menatap bola mata orang itu, dan senyumnya diarahkan hanya pada orang itu.
SBY seolah-olah mengatakan kepada orang yang disapanya, "Di sini, detik ini, hanya ada saya dan kamu."
"Hal ini penting karena bagi saya tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menjabat tangan seseorang yang matanya menerawang pada orang lain," tulis Dino pada halaman 153.
SBY juga digambarkan Dino sebagai pemimpin yang ingin langsung mendapat masukan dari rakyat untuk mewujudkan demokrasi langsung.
Contoh yang tampilkan adalah ketika dialog SBY dengan para petani di Waduk Jatiluhur pada 11 Juni 2005. Pada acara itu, SBY memberi nomor telepon genggamnya yang bisa dihubungi 24 jam sehari. Akibatnya, nomor telepon SBY mengalami gangguan karena tak mampu menampung banyaknya orang yang mengirim pesan melalui layanan pesan singkat (SMS).
Hal terpenting dalam Bab III itu adalah kesan Dino bahwa SBY merupakan pemimpin yang konsisten menjaga warna politiknya dan menjunjung tinggi etika politik.
"Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).
Sejumlah penebar fitnah disebut seperti Eggi Sudjana dan Zaenal Ma`arif tetapi terhadap salah seorang mantan petinggi TNI Dino hanya berani menyebut "Jenderal X".
Dino pun menjadi tahu perilaku standar dari penebar fitnah. Pertama, mereka melontarkan fitnah biasanya dengan cara bombastis dan sikap penuh keyakinan. Kedua, mereka dengan keras kepala mengancam membeberkan bukti-bukti untuk mendukung fitnah itu. Ketiga, setelah proses hukum berjalan mereka meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada orang yang difitnah agar terhindar dari bui.
Dari kasus tersebut, Dino menggambarkan bahwa SBY merupakan pemimpin yang pemaaf, tiada dendam.
Surat balasan SBY atas permohonan maaf dari Zaenal Ma`arif pun tertera pada halaman 211-214 buku ini. Surat balasan itu ditulis sendiri oleh SBY dan orang yang membacanya akan melihat dengan jelas akhlak dari SBY, kata Dino.
Bab IV bertajuk "Memimpin Tim dan Membuat Keputusan" memaparkan gaya kepemimpinan SBY yang sangat mementingkan kekompakan kabinet karena banyak menteri yang berasal dari partai politik. SBY selalu menegaskan bahwa selama menjadi menteri maka loyalitas adalah kepada Presiden dan Pemerintah.
Namun kenyataan mencatat bahwa SBY beberapa kali merombak kabinet dengan beragam alasan yang intinya menunjukkan bahwa kekompakan kabinet merupakan salah satu kerikil pemerintahan SBY.
Pada bab ini pula digambarkan bahwa SBY membela juru bicara Andi Mallarangeng atas desakan pimpinan DPR agar jangan terlalu banyak berkomentar dan Dino yang disebut-sebut sebagai agen asing.
Atas tudingan sebagai agen asing, Dino pada halaman 225 menulis, "Saya sudah mengabdi untuk Republik selama 20 tahun lebih dan saya lahir dari keluarga Pegawai Negeri yang nasionalis. Jadi bisa anda bayangkan betapa gregetnya perasaan saya mendengar celotehan `edan` seperti itu."
Dalam pengambilan keputusan, Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas).
Dalam ilmu manajemen ada istilah "thinking on your feet" atau orang yang dapat berpikir sambil berdiri. Bagi Dino, SBY melakukan lebih dari itu: beliau bisa "deciding on the run" atau mengambil keputusan sambil berlari.
Judul buku ini diambil dari sub bab bertajuk "Harus Bisa!" dalam Bab IV. Dalam menghadapi setiap situasi, SBY selalu mengatakan kepada pembantunya,"Harus Bisa!".
"Beliau paling tidak suka kalau ada pembantunya yang sudah kalah atau jatuh mental sebelum bertarung. Berkali-kali SBY menyatakan dalam pidato publiknya: Kita jangan menjadi bangsa yang cengeng dan manja," tulis Dino pada halaman 254.
Pada Bab V bertajuk "Memimpin Di Pentas Dunia", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis.
"Sebagai diplomat profesional, saya berpendapat bahwa SBY adalah salah satu `foreign policy President" terbaik selama ini," tulis Dino pada halaman 284-285. "Foreign policy President" merupakan istilah diplomasi tentang tipe Presiden yang mempunyai perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.
Selain sebagai sosok nasional dan internasionalis, pada bab ini Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menyentuh hati dan menyembuhkan luka, percaya diri dalam mengambil sikap, peka terhadap situasi, menanam dan memanfaatkan "political capital" dalam diplomasi, mengukir sejarah diplomasi, dan menggagas ide melahirkan inovasi.
Pada bab VI bertajuk "Memimpin Diri Sendiri", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menghormati ketepatan waktu, menjadi diri sendiri, pemimpin yang tidak mendewasakan kekuasaan, dan pemimpin bermental tangguh.
Bila Wimar tak ada penyesalan menjadi juru bicara Gus Dur, Dino tentu saja sangat bangga menjadi juru bicara seorang Presiden yang ia gambarkan sangat perfeksionis.
"Saya sering merasa seperti kuda lumping yang mengejar kuda balap," tulis Dino dalam epilog.
Banyak pernyataan SBY dan cerita menarik yang belum diberitakan sebelumnya dapat disimak dalam buku yang dihiasi parade ratusan foto kegiatan SBY.
Dalam pengabdian kepada SBY, Dino menulis bahwa yang ada hanyalah kehormatan dicampur kecemasan apakah telah memberikan yang terbaik kalau tiba masanya meninggalkan Istana. (Nast)

"INDONESIA UNGGUL"

"INDONESIA UNGGUL" adalah buku ketiga karya SBY yang merupakan versi Bahasa Indonesia dari buku keduanya Indonesia On The Move. Buku setebal 335 halaman ini berisi kumpulan pidato dan artikel SBY yang pernah dibacakan dalam berbagai forum atau dimuat di media internasional.
"Buku ini merupakan kumpulan pidato saya. Dalam penulisannya saya dibantu saudara Dino Pati Djalal dan juga mendapat masukan dari banyak pihak", (Jakarta, Desember 2008)
Buku "Indonesia Unggul" memaparkan kembali babak baru kehidupan bernegara yang tercermin lewat penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung pada 2004. .
Dalam buku ini, SBY juga menuliskan refleksi atas apa yang telah dilakukannya, termasuk menyangkut utang Presiden yang belum dipenuhi bagi rakyat Indonesia.
Alasan SBY menulis buku ini salah satunya adalah untuk menepis anggapan banyak pihak yang kerap salah dalam memahami Indonesia sehingga menimbulkan prasangka buruk.
SBY mengungkapkan "Saat masih menjadi menteri, saya bertemu Colin Powel dan saat itu dia berkata Indonesia adalah negara yang sering salah untuk dipahami."
Oleh sebab itu sebagai Kepala Negara, SBY merasa sudah menjadi kewajibannya untuk meluruskan kesalahpahaman itu dengan berbagai cara, termasuk melalui penulisan di sebuah buku.
Di depan hadirin dan sejumlah menteri yang hadir dalam peluncuran buku ini, SBY mengatakan , "Dari segi substansi, pikiran-pikiran dasar memang saya hadirkan sebagai alat komunikasi saya, baik kepada masyarakat global maupun di kalangan dalam negeri sendiri. Kumpulan dari pidato dan artikel saya yang saya hadiri di berbagai forum dan berbagai media terutama media internasional ... "
"Saya menyampaikan banyak hal tentang Indonesia. Di buku ini saya banyak berbicara tentang demokrasi. Orang mengatakan demokrasi di Indonesia masih muda. Barangkali benar, tapi kita berada di jalur yang tepat untuk terus memekarkan demokrasi kita. Saya juga banyak menyampaikan tentang Islam. Kita sampaikan ajaran yang benar tentang Islam agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang Islam,"

RESENSI BUKU "SBY SANG DEMOKRAT"

SBY Sang Demokrat adalah buku biografi SBY yang ditulis oleh Usamah Hisyam dan kawan-kawan. Untuk memahami sosok SBY secara utuh buku biografi ini ditulis dalam 14 BAB, dengan prolog dan epilog disertai dengan foto-foto peristiwa yang berkaitan dengan kegiatannya.
Buku ini disajikan cukup lengkap berbagai kisah latar belakang keluarga SBY, masa kecil dan remaja, masa pendidikan dan karier dalam kemiliteran dari medan tempur hingga menjadi pimpinan TNI, pengalaman sebagai menteri, sejumlah ide dan gagasannya tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta pengalaman dalam dunia internasional dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis.
Secara mengalir dan cair, buku ini mampu menceritakan tentang bagaimana SBY yang dilahirkan di Pacitan, 9 September 1949, bisa menjalani hidupnya yang nyaris sesuai dengan arti nama yang diberikan orang tuanya yang bermakna "seorang yang punya kesetiaan lebih dan berhasil memenangkan setiap peperangan" (Susilo berarti lebih, Bambang berarti kesetiaan dan Yudhoyono bermakna menang perang).
Mengenai keteladanan orang tua yang mempengaruhi SBY, dalam buku ini diterangkan bagaimana ia berteladan pada ayah. Hal itulah yang membuatnya berdedikasi tinggi ketika menjalankan tugas. Juga bagaimana peristiwa keterpisahannya dengan orangtua adalah peristiwa yang mencemaskan, namun justru berhasil membuat SBY tumbuh menjadi anak yang belajar mandiri.
Mengenai ketertarikan dan minat SBY terhadap dunia militer, diceritakan bahwa sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), putra pasangan Soekotjo dan Siti Habibah itu sudah tertarik dengan dunia militer yaitu ketika melihat anggota militer latihan perang di desanya, Purwosari, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, Jawa timur. Ketika duduk di kelas 5 SR, ayahnya mengajaknya pesiar mengunjungi Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Tentu saja Susilo kecil sangat tertarik melihat para taruna sedang pesiar
Sejak sekolah di SR itu pula, Susilo sering mendapat tugas dari kepala sekolahnya sebagai komandan. Untuk kegiatan gerak jalan, misalnya, ia ditunjuk menjadi komandan peleton SR Gadjahmada. Hasilnya, mereka keluar sebagai juara pertama kelompok putra Lomba Gerak Jalan antar-SR Tingkat Kabupaten Pacitan. Selain itu, pada upacara bendera setiap Senin, ia selalu menjadi komandan upacara, hingga lulus dengan nilai terbaik, pada Juli 1962.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Susilo selalu terpilih menjadi komandan. Tahun 1973, ia menjadi Komandan Divisi Korps Taruna di AMN, dan selalu menjadi komandan upacara pada setiap upacara, termasuk penyambutan petinggi militer dari luar negeri. Pada 1994, menantu Sarwo Edhi Wibowo ini menjadi Komandan Upacara HUT RI di Istana Merdeka, dengan inspektur upacara Presiden Soeharto.
SBY sebagai lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973, tercatat berhasil memegang sejumlah jabatan penting di pasukan sebagai Komandan Brigade Infantri Lintas Udara 17/Kujang/Kostrad pada tahun 1993 dengan pangkat kolonel infantri, menjadi komandan pasukan Indonesia dalam tugas di Bosnia, dan sejak itu dia menempati posisi-posisi teritorial mulai dari Danrem Pamungkas di Yogyakarta hingga Pangdam Sriwijaya, dan akhirnya peran sosial politik sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI (1998).
Buku ini juga berhasil menceritakan mengenai loyalitas SBY yang begitu tinggi. Dituliskan bahwa sewaktu karir SBY di dunia militer sedang menanjak, dan dirinya sedang diproyeksikan menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memintanya menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) dalam Kabinet Persatuan Nasional. Meski awalnya berat hati, suami Kristiani Herrawati itu akhirnya loyal pada permintaan pimpinannya, presiden RI, karena ia beranggapan, pengabdian terhadap bangsa dan negara tak dibatasi di jalur militer saja. Banyak langkah yang dilakukannya selama menjabat Mentamben, antara lain restrukturisasi Pertamina, mengatasi krisis BBM serta menyiapkan RUU Migas. Semasa pemerintahan Gus Dur itu pula, SBY ditunjuk sebagai Menko Sospolkam.
Sewaktu Gus Dur dilengserkan, kemudian diganti Megawati, terjadi kekosongan kursi wakil presiden. Sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDIP, Golkar, Utusan Golongan dan Kesatuan Kebangsaan Indonesia memintanya mencalonkan diri menjadi wapres. SBY, yang menerima tawaran itu, akhirnya dikalahkan oleh Hamzah Haz. SBY menerima kekalahan dengan lapang dada. Ia menerimanya secara ikhlas sebagai realitas politik.
Dalam hal persinggungan SBY dan keterlibatannya dengan dunia politik, buku ini mampu menceritakan pergulatan politik yang dialami SBY sampai akhirnya menemukan pelajaran yang bisa dipetik SBY dari kekalahannya dalam pemilihan wapres, yaitu kenyataan bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung tinggi norma dan etika demokrasi. Ia harus berjuang melalui partai. Karena itu, SBY mematangkan pembentukan Partai Demokrat. Secara jangka panjang, SBY menginginkan partai politik yang memiliki garis ideologi yang nyaman, tidak terkotak-kotak dalam partai Islam, nasionalis, apalagi sekuler. Partai Demokrat merumuskan ideologi partai menjadi nasionalis religius. Sekarang, SBY melangkah mulus ke tangga istana, bukan lagi sebagai wapres, melainkan Presiden RI.
Buku ini benar-benar mampu mengungkap sosok kepemimpinan SBY yang memang pantas diteladani. Betapa SBY tetap tenang, dingin dan santun menuangkan pikirannya. Misalnya, berkaitan dengan pencopotan dirinya sebagai Menkopolsoskam oleh Gusdur. SBY memang memperlihatkan bakat kepemimpinan sejak dia muda. Bahkan semasa menjadi sersan mayor taruna di AKABRI dia pernah menjabat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna, yang membawahi sekitar 3.000 taruna AKABRI Umum dan Darat mulai tingkat satu sampai empat. Ada catatan-catatan mengenai keberhasilannya menyelesaikan perselisihan antara sesama taruna di angkatannya secara dingin dan tenang, dengan mengedepankan kepentingan semua.
Buku ini juga mampu menggambarkan wawasan SBY yang luas dan jauh ke depan. Misalnya salah satu pemikiran SBY tentang bagaimana bangsa ini harus melangkah ke depan? Dalam buku ini SBY menyebutkan, dalam jangka panjang, agenda utama pembangunan nasional adalah terwujudnya negara kebangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan. Untuk itu menurut SBY, bangsa ini harus melakukan langkah yang bersifat jangka panjan, antara lain: Pengembangan pondasi kebangsaan; Pengembangan identitas dan karakter bangsa; Pengembangan sistem kenegaraan dan pemerintahan yang berkelanjutan; Pengembangan wawasan kebangsaan dan inclusive; Pengembangan demokrasi yang sejalan dengan sejarah dan nilai-nilai kebangsaan; dan Pengembangan sistim demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk terus bisa memperbaharui konsensus dan nilai-nilai kontemporer.
Akhir kata, kehadiran buku ini berhasil menjawab pertanyaan banyak kalangan yang pada awalnya menafsirkan SBY sebagai tokoh yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
Berdasarkan fakta dan data empiris yang diperoleh penulis dari puluhan narasumber yang ditemuinya, ditemukan kenyataan yang menyebutkan bahwa SBY bukan sosok seperti yang dinilai banyak kalangan. Justru sebaliknya, dia adalah orang yang sangat tegas, cerdas, nasionalis, islamis, dan demokratis.

Karier Militer Hingga Terjun ke Politik

Tahun 1973, SBY lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek. Periode 1974-1976, ia memulai karier di Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad. Pada tahun 1976, ia belajar di Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Kariernya berlanjut pada periode 1976-1977 di Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad, Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977), Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978, Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981, Paban Muda Sops SUAD (1981-1982. Periode 1982-1984, ia belajar di Infantry Officer Advanced Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Tahun 1983, ia belajar pada On the job training in 82-nd Airbone Division (Fort Bragg) Amerika Serikat, Jungle Warfare School (Panama, Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984, Kursus Komando Batalyon (1985) dan meniti karier di Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985), Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988), dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988).
Periode 1998-1989, ia Sekolah Komando Angkatan Darat dan belajar di US Command and General Staff College pada tahun 1991. Periode (1989-1993), ia bekerja sebagai Dosen Seskoad Korspri Pangab, Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994, Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995) serta Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (1995-1996). Pada tahun 1997, ia diangkat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata dan Staf Urusan Sosial dan Politik. Ia pensiun dari kemiliteran pada 1 April 2001 oleh karena pengangkatannya sebagai menteri.
Lulusan Command and General Staff College (Fort Leavenwort) Kansas Amerika Serikat dan Master of Art (MA) dari Management Webster University Missouri ini juga meniti karier di Kasdam Jaya (1996), dan Pangdam II/Sriwijaya sekaligus Ketua Bakorstanasda. Karier militernya terhenti sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI) dengan pangkat Letnan Jenderal.
Karier politik dimulai saat tampil sebagai juru bicara Fraksi ABRI menjelang Sidang Umum MPR 1998 yang dilaksanakan pada 9 Maret 1998 dan Ketua Fraksi ABRI MPR dalam Sidang Istimewa MPR 1998. Setelah itu, pada 29 Oktober 1999, SBY diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di pemerintahan pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Setahun kemudian, tepatnya 26 Oktober 1999, ia dilantik sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) sebagai konsekuensi penyusunan kembali kabinet Abdurrahman Wahid.
Dengan keluarnya Maklumat Presiden pada 28 Mei 2001 pukul 12.00 WIB, Menko Polsoskam ditugaskan untuk mengambil langkah-langkah khusus mengatasi krisis, menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya lantaran situasi politik darurat yang dihadapi pimpinan pemerintahan. Saat itu, Menko Polsoskam sebagai pemegang mandat menerjemahkan situasi politik darurat tidak sama dengan keadaan darurat sebagaimana yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1959.
Belum genap satu tahun menjabat Menko Polsoskam atau lima hari setelah memegang mandat, ia didesak mundur pada 1 Juni 2001 oleh pemberi mandat karena ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR. Jabatan pengganti sebagai Menteri Dalam Negeri atau Menteri Perhubungan yang ditawarkan presiden tidak pernah diterimanya.
Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri melantiknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada 10 Agustus 2001. Merasa tidak dipercaya lagi oleh presiden, jabatan Menko Polkam ditinggalkannya pada 11 Maret 2004. Berdirinya Partai Demokrat pada 9 September 2002 menguatkan namanya untuk mencapai kerier politik puncak. Ketika Partai Demokrat dideklarasikan pada 17 Oktober 2002, namanya dicalonkan menjadi presiden dalam pemilu presiden 2004.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam dan sejalan dengan masa kampanye pemilu legislatif 2004, ia secara resmi berada dalam koridor Partai Demokrat. Keberadaannya dalam Partai Demokrat menuai sukses dalam pemilu legislatif dengan meraih 7,45 persen suara. Pada 10 Mei 2004, tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang secara resmi mencalonkannya sebagai presiden dan berpasangan dengan kandidat wakil presiden Jusuf Kalla
Masa Kepresidenan
MPR periode 1999-2004 mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilu presiden dua tahap kemudian dimenanginya dengan 60,9 persen suara pemilih dan terpilih sebagai presiden. Dia kemudian dicatat sebagai presiden terpilih pertama pilihan rakyat dan tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia unggul dari pasangan Presiden Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada pemilu 2004.
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sebagai prioritas penting dalam kepemimpinannya selain kasus terorisme global. Penanggulangan bahaya narkoba, perjudian, dan perdagangan manusia juga sebagai beban berat yang membutuhkan kerja keras bersama pimpinan dan rakyat.
Di masa jabatannya, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam seperti gelombang tsunami, gempa bumi, dll. Semua ini merupakan tantangan tambahan bagi Presiden yang masih bergelut dengan upaya memulihkan kehidupan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk UKP3R, sebuah lembaga kepresidenan yang diketuai oleh Marsilam Simandjuntak pada 26 Oktober 2006. Lembaga ini pada awal pembentukannya mendapat tentangan dari Partai Golkar seiring dengan isu tidak dilibatkannya Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembentukannya serta isu dibentuknya UKP3R untuk memangkas kewenangan Wakil Presiden, tetapi akhirnya diterima setelah SBY sendiri menjelaskannya dalam sebuah keterangan pers.

Masa Sekolah Dasar Hingga Masuk AKABRI

Kendati anak tunggal, SBY hidup dengan prihatin dan kerja keras. Saat di Sekolah Rakyat Gajahmada Desa Purwosari Kecamatan Kebonagung (sekarang SDN Baleharjo I), SBY tinggal bersama pamannya, Sasto Suyitno, ketika itu Lurah desa Ploso, Pacitan. Prestasi SBY saat SR sudah menonjol dan mulai menunjukkan sifat seorang pemimpin dan pemaaf. Saat bertugas sebagai Komandan Peleton SR Gajahmada, ia meraih juara pertama lomba gerak jalan antar SR tingkat Kabupaten Pacitan. Pada Juli 1962 SBY lulus dari SR dengan nilai terbaik.
Tekad SBY untuk menjadi prajurit mengental saat kelas V SR (1961) dan berkunjung ke AMN di kampus Lembah Tidar Magelang. "Saya tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan dan berbaris dengan tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke Yogyakarta, saya sempatkan membeli pedang, karena dalam bayangan saya, tentara itu membawa pedang dan senjata," kenang SBY.
Setamat Sekolah Rakyat, SBY masuk SMP Negeri Pacitan yang merupakan idola bagi anak-anak kota 1001 goa tersebut. Di sini SBY terlibat dalam pelbagai kegiatan intra dan ekstra sekolah seperti masak-memasak, kelompok belajar, musik, hingga olahraga khususnya bola voli dan tenis meja.
SBY juga aktif di Pijar Sena, sebuah kompi pelajar serbaguna. Kompi ini pernah bertugas mendata penduduk desa Pager Lot dalam rangka mencari pelarian anggota partai Komunis Indonesia (PKI). Di bidang seni budaya SBY juga belajar lukis dan teater di sanggar seni Dahlia Pacitan pimpinan Gondrong Suparman. Dia juga melahirkan ide membuat majalah dinding dimana dia menjadi editor, menulis artikel seputar sekolah, puisi hingga menulis cerpen.
Setamat SMP, SBY masuk di SMA Negeri Pacitan yang biasa disebut sebagai SMA 271. Di sini SBY tak hanya menonjol pada pelajaran semata, tetapi juga di bidang-bidang lain. Dia tetap rendah hati dan mau berbagi pengetahuan kepada teman. Ia kerap kali tampil mengajar matematika ketika guru yang bersangkutan berhalangan hadir.
Di SMA ini bakat seni SBY semakin berkilau. Ia piawai dalam bermain musik sehingga didaulat menjadi pemain bass gitar band sekolah. Di sini SBY juga meneruskan hobi olahraga kegemarannya, bermain bola voli. Benih-benih sebagai pemimpin berbakat mulai bersemi dalam jiwanya. Akhirnya SBY dinyatakan lulus dari bangku SMA tahun 1968.
SBY sangat berminat masuk militer. Sayangnya karena kesalahan informasi dia terlambat mendaftarkan diri. Untuk menunggu pendafataran berikutnya, SBY sempat mengikuti pendidikan di Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), walau hanya sampai tahap orientasi kampus karena dia lebih tertarik untuk masuk ke Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PG-SLP) di Malang, Jawa Timur.
Di Malang ini, SBY mempersiapkan fisik, mental, dan intelektualnya untuk mengikuti ujian penyaringan AKABRI tingkat daerah di Jawa Timur, dan tingkat pusat di Bandung. Menjelang akhir tahun 1969 SBY mendaftar AKABRI di Malang. Berhasil lulus dan melanjutkan tes ke Bandung. Setelah lulus juga dari tes di Bandung ia dikirim ke Magelang untuk mengikuti pendidikan militer mulai awal tahun 1970.
Di AKABRI Magelang, SBY semakin aktif berkegiatan. Ia bergabung dengan drumband AKABRI Darat Cantalokananta sejak tingkat satu. Pada hari libur ia tetap sibuk belajar dan membaca sehingga dijuluki teman-temannya sebagai kutu buku. Sejumlah buku militer dan biografi para tokoh militer asing dilahapnya. Hal ini didukung pula karena sejak SMP, SBY sudah fasih berbahasa Inggris.
Di tahun kedua, saat berpangkat Sersan Taruna, SBY memperoleh "wildcard� yaitu bebas memilih kecabangan karena berprestasi baik 10 besar. SBY memilih kecabangan korps infanteri dan terpilih menjadi Komandan Divisi Korps Taruna membawahi 3.000 taruna Akademi Militer selama satu setengah tahun. Selama 4 tahun di AKABRI SBY menerima berbagai penghargaan di bidang kepribadian, intelektual, hingga fisik. Ia meraih rekor 7 bintang penghargaan yang tak pernah diraih taruna mana pun.
SBY lulus pada 11 Desember 1973, dan berhasil menjadi lulusan terbaik di antara 987 taruna lulusan seangkatannya. SBY lulus dengan penghargaan Bintang Adhi Makayasa yang setara dengan summa cum laude yang berarti yang terbaik seangkatannya mulai dari hal kepribadian, fisik, mental dan akademis.

Dari Pacitan ke Istana Kepresidenan


SBY lahir di lingkungan Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949. SBY adalah anak tunggal dari pasangan R Soekotjo dan Siti Habibah. Ayahnya R Soekotjo adalah seorang Bintara Angkatan Darat, sementara ibunya, Siti Habibah, putri salah seorang pendiri pondok pesantren Tremas.
R Soektotjo memberi nama Susilo Bambang Yudhoyono karena penuh makna. Susilo berarti orang yang santun dan penuh kesusilaan. Bambang artinya ksatria. Yudho bermakna perang dan Yono berarti kemenangan. Jadi Susilo Bambang Yudhoyono berarti seorang yang santun, penuh kesusilaan, ksatria dan berhasil memenangkan setiap peperangan.
SBY meraih lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973, dan terus mengabdi sebagai perwira TNI sepanjang 27 tahun. Beliau meraih pangkat Jendral TNI pada tahun 2000. Sepanjang masa itu, beliau mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan di Indonesia dan luar negeri, antara lain Seskoad di mana pernah pula menjadi dosen, serta Command and General Staff College di Amerika Serikat. Dalam tugas militernya, beliau menjadi komandan pasukan dan teritorial, perwira staf, pelatih dan dosen, baik di daerah operasi maupun markas besar. Penugasan itu diantaranya, Komandan Brigade Infanteri Lintas Udara 17 Kostrad, Panglima Kodam II Sriwijaya dan Kepala Staf Teritorial TNI.
Selain di dalam negeri, beliau juga bertugas pada misi-misi luar negeri, seperti ketika menjadi Commander of United Nations Military Observers dan Komandan Kontingen Indonesia di Bosnia Herzegovina pada 1995-1996.
Setelah mengabdi sebagai perwira TNI selama 27 tahun, beliau mengalami percepatan masa pensiun maju 5 tahun ketika menjabat Menteri di tahun 2000. Atas pengabdiannya, beliau menerima 24 tanda kehormatan dan bintang jasa, diantaranya Satya Lencana PBB UNPKF, Bintang Dharma dan Bintang Maha Putra Adipurna. Atas jasa-jasanya yang melebihi panggilan tugas, beliau menerima bintang jasa tertinggi di Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna.
Sebelum dipilih rakyat dalam pemilihan presiden langsung, SBY melaksanakan banyak tugas-tugas pemerintahan, termasuk sebagai Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan pada Kabinet Persatuan Nasional di jaman Presiden Abdurrahman Wahid. Beliau juga bertugas sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Gotong-Royong di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada saat bertugas sebagai Menteri Koordinator inilah beliau dikenal luas di dunia internasional karena memimpin upaya-upaya Indonesia memerangi terorisme.
SBY juga dikenal aktif dalam berbagai organisasi masyarakat sipil. Beliau pernah menjabat sebagai Co-Chairman of the Governing Board of the Partnership for the Governance Reform, suatu upaya bersama Indonesia dan organisasi-organisasi internasional untuk meningkatkan tata kepemerintahan di Indonesia. Beliau adalah juga Ketua Dewan Pembina di Brighten Institute, sebuah lembaga kajian tentang teori dan praktik kebijakan pembangunan nasional.
SBY adalah seorang penggemar baca dengan koleksi belasan ribu buku, dan telah menulis sejumlah buku dan artikel seperti: Transforming Indonesia: Selected International Speeches (2005), Peace deal with Aceh is just a beginning (2005), The Making of a Hero (2005), Revitalization of the Indonesian Economy: Business, Politics and Good Governance (2002), dan Coping with the Crisis - Securing the Reform (1999). Ada pula Taman Kehidupan, sebuah antologi yang ditulisnya pada 2004. Presiden Yudhoyono adalah penutur fasih bahasa Inggris.
Dia juga seorang ilmuwan teruji, beliau meraih gelar Master in Management dari Webster University, Amerika Serikat tahun 1991. Lanjutan studinya berlangsung di Institut Pertanian Bogor, dan di 2004 meraih Doktor Ekonomi Pertanian. Pada 2005, beliau memperoleh anugerah dua Doctor Honoris Causa, masing-masing dari almamaternya Webster University untuk ilmu hukum, dan dari Thammasat University di Thailand ilmu politik.
SBY adalah seorang Muslim yang taat. Beliau menikah dengan Ibu Ani Herrawati dan mereka dikaruniai dengan dua anak lelaki. Pertama adalah Kapten Inf Agus Harimurti Yudhoyono MSc, lulusan terbaik Akademi Militer tahun 2000 yang sekarang bertugas di satuan elit Batalyon Lintas Udara 305 Kostrad. Putra kedua, Edhie Baskoro Yudhoyono MSc, mendapat gelar bidang Ekonomi dari Curtin University, Australia.

Rabu, 28 Oktober 2009

Demokrat 0, PDIP 2

KEDIRI- Hasil final pemilihan ketua komisi di DPRD Kabupaten Kediri melenceng dari perkiraan. Fraksi Partai Demokrat, yang awalnya digadang-gadang bisa merebut jatah satu komisi ternyata justru harus merana. Sebab, partai tersebut tak mendapatkan jatah ketua komisi sama sekali.

Justru Partai Golkar yang semula diperkirakan tak mendapat jatah akhirnya punya wakil. Partai Golkar kembali memegang satu posisi ketua komisi.

Konfigurasi ketua komisi tersebut kebanyakan diperoleh dari hasil voting. Sebab, wacana yang dimunculkan beberapa fraksi agar pemilihan ketua komisi dicari melalui proses musyawarah mufakat tak bersambut. Banyak penolakan yang muncul. Akhirnya pemilihan ketua komisi diserahkan pada masing-masing komisi.

"Dari empat komisi hanya komisi D yang musyawarah. Tiga komisi lainnya dilakukan voting," terang Heri Purnawirawan, anggota Fraksi PDI Perjuangan yang terpilih menjadi ketua komisi A.

Berdasarkan rapat internal yang dilakukan masing-masing komisi, PDIP berhasil memegang dua komisi. Yaitu komisi A yang diketuai Heri Purnawirawan dan komisi C diketuai Murdi Hantoro.

Sedangkan ketua komisi B diketuai wakil dari FPG, Amrianto. Di keanggotaan periode sebelumnya, Amri adalah ketua komisi C.

Sedangkan ketua komisi D diketuai Abdul Hasyim dari FPKB. Periode lalu, Abdul Hasyim adalah ketua komisi A.

Anggota dewan dari Partai Demokrat semakin merana karena mereka juga tak berada di posisi wakil ketua dan sekretaris komisi. Posisi-posisi itu diisi anggota dewan dari PKB, PDIP, Partai Golkar, dan PAN. Satu aggota F Bhinneka Tunggal Ika mendapat jatah sebagai bendahara komisi D.

Disinggung hasil tersebut, Heri Purnawirawan menyebut pengisian struktur komisi berlangsung secara demokratis. Karena itu Heri mengaku gembira karena partainya mendapatkan dua posisi ketua.

"Besok (hari ini, Red) digelar rapat paripurna penetapan komisi," terang Heri.

Sedangkan pengisian alat kelengkapan lain masih menunggu terbitnya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur susunan dan kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Sesuai surat edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) yang diterima beberapa waktu lalu, DPRD hanya boleh membentuk komisi dulu. Sedangkan yang lain, seperti badan legislasi, badan kehormatan, badan anggaran, dan badan musyawarah masih belum boleh dibentuk.

Ketua DPC Partai Demokrat Koesjanto tak mempermasalahkan hasil pemilihan ketua-ketua komisi yang tak menyisakan untuk partainya itu. Menurutnya, proses pengisian sudah melalui mekanisme. Yaitu dengan cara voting. "Kalau memang (kader Demokrat) tidak dikehendaki oleh teman-teman tidak masalah," kilah Koesjanto.

Pada prinsipnya, menurut Koesjanto, Demokrat menghormati mekanisme yang telah berjalan. Hal tersebut juga akan dilakukan dalam pengisian alat kelengkapan lainnya. Koesjanto mengaku siap legawa jika partainya tidak bisa memegang porsi ketua di alat kelengkapan lain. (ut/fud)

sumber : jawapos

Minggu, 11 Oktober 2009

Renny Disumpah, Kaca Lemari Pecah

Jumat, 09 Oktober 2009

PENATAAN WARUNG DI KLOTOK

Dewan Minta Lokasi Warung Terang

Kediri, monTera=Pasca hebohnya peredaran video mesum yang dilakukan di kawasan wisata Lebak Tumpang, Kelurahan Pojok Kota Kediri, membuat warung-warung yang berada disekitar menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Bahkan tidak luput kalangan DPRD Kota Kediri, yang meminta kawasan tersebut untuk diberi penerangan.

“Image tentang warung remang-remang kita hilangkan dululah, yakni dengan cara memberikan penerangan yang lebih dikawasan tersebut,” ujar Anggota DPRD Kota Kediri, Yudi Ayubchan.

Saat ini dikatakan Yudi, kawasan lereng klotok tersebut kalau malam hari terlihat gelap, terutama didalam warung, hanya lampu berukuran 2,5 watt atau lampu ublik. “Kalau gelap, kemungkinan terjadi tindak kejahatan sangatlah tinggi, terutama pergaulan bebas yang membuat tempat tersebut leluasa digunakan tempat mesum,” jelasnya.

Untuk itu dia berharap pihak Pemkot yang beberapa hari yang lalu sempat mengatakan akan ada pihak ketiga yang membangun lokasi tersebut untuk memberi penerangan terutama didalam warung-warung. “Kalau tidak diberi penerangan, mending warung tersebut jangan samapi buka hingga malam hari, jam 5 tutup saja,” terangnya.

Sementara itu dari hasil pantauan dilokasi warung Lebak Tumpang, untuk aliran listrik dan penerangan jalan umum (PJU) sudah ada, namun penerangannya tidak bisa masuk kedalam warung, sebagian warung ada yang menggunakan jenset, ada juga yang menggunakan lampu petromak.

Moch. Irvan salah satu pemilik warung berharap, pihak Pemkot mau memberikan bantuan penerangan. Pasalnya jika menggunakan jenset, terlalu mahal biayanya. Apalagi ada imbauan agar diberi lampu yang terang. “Kalau lampunya saya ganti yang terang, jenset saya tidak kuat,” aku Irvan yang menggunakan jenset dengan kekuatan 400 PK ini.

Sebelumnya, Pemkot Kediri melalui Wakil Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar mengatakan, lokasi tersebut akan dijadikan kawasan wisata, saat ini masih tahap pembicaraan dengan pihak ketiga yakni pihak swasta terkait pembangunannya. “Kompensasinya nanti bangunanya diberi baner-baner dari sponsor yang telah mendanai,” ujarnya. (*)
sumber : Koranmontera.com