Fraksi Demokrat DPRD Kota Kediri

Ketua Fraksi : Yudi Ayubchan, SH
Anggota : 1. Dra. Nuraida
2. Erita Dewi
Free Layouts for MySpace

I made my layout with the Myspace Background Maker. Get myspace layouts, graphics, and flash toys at pYzam.

Selasa, 15 September 2009

Dewan Kritik Dishubkominfo

Tak Segera Uji Coba Model Parkir Jalan Dhoho

KEDIRI- Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) Kota Kediri mendapat kritikan. Lembaga ini dinilai lamban dalam melakukan uji coba perubahan model parkir di Jalan Dhoho. Seharusnya, uji coba itu mulai dilakukan saat ini.

"Harusnya uji coba perubahan model parkir dilaksanakan sekarang," kata Yudi Ayubchan, anggota DPRD Kota Kediri.

Sebab, bila tidak dilakukan sekarang, efektivitasnya tak akan bisa terlihat. Karena sekarang adalah mendekati puncak kepadatang pengunjung di jalan yang menjadi pusat pertokoan itu. Jumlah pebelanja di jalan tersebut mencapai ribuan menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini.

"Uji coba perubahan model parkir akan bisa dilihat hasilnya nanti," ujarnya.

Politisi dari Partai Demokrat ini mengatakan, jika perubahan model parkir dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri, hasilnya tak bisa didapat dengan maksimal. Kelebihan dan kekurangan model parkir yang baru nanti tak akan bisa dilihat.

Ketika disinggung tentang anggaran perubahan model parkir sebesar Rp 300 juta yang belum cair karena menunggu evaluasi dari gubernur, Ayub mengatakan hal itu tidak bisa dijadikan alasan. Sebab, dishubkominfo bisa menyiasati dengan menalangi terlebih dulu.

Selain itu, untuk perekrutan tenaga jukir baru sekitar 60-70 orang untuk mendukung perubahan model parkir bisa disiasati dengan cara lain. Yaitu mengerahkan jukir-jukir yang berada di jalan-jalan yang tidak terlalu ramai. "Bisa saja jukir yang bertugas di jalan lain ditarik ke Jalan Dhoho. Sehingga tidak perlu merekrut jukir dulu," ujarnya.

Banyaknya personil jukir yang ditempatkan di Jalan Dhoho sekaligus menutup problem marka parkir. Sebab, masyarakat akan memahami jika ada arahan dari jukir untuk memarkir kendaraannya secara searah.

Untuk itu Ayub kembali mendesak agar dishubkominfo tidak menunda perubahan model parkir Jalan Dhoho. Agar segera diketahui apakah rencana tersebut berhasil atau tidak. "Jika berhasil maka dalam APBD 2010 bisa dianggarkan lagi. Demikian pula sebaliknya," ujarnya.

Secara terpisah Kepala Dishubkominfo Achmad Sudrajat tetap pada pendirian awal. Dia tak mau gegabah jika terkait masalah anggaran. Setiap tahun anggaran semua dinas akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Jika kami menalangi dan ada masalah maka saya yang akan kena," kilahnya.

Dalam masa-masa sekarang ini, kata Sudrajat, pihaknya harus berhati-hati. Kesalahan dalam penggunaan anggaran bisa masuk ranah pidana. "Kami tidak bisa seenaknya menggunakan anggaran," ujarnya.

Karena alasan itulah Sudrajat mengatakan dishubkominfo belum bisa melaksanakan uji coba perubahan model parkir. Karena anggaran belum bisa cair. Tapi dia berjanji uji coba akan dilaksanakan begitu anggaran sudah mereka dapatkan.

"Pertengahan Oktober mungkin kami baru bisa melaksanakan perubahan model parkir di Jalan Dhoho," dalihnya.

Mantan asisten sekkota dan kepala satpol PP ini mengatakan, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas sebelum dan selama lebaran, dishubkominfo menerjunkan puluhan personil. Petugas tersebut juga agar parkir tidak semrawut. "Petugas dishubkominfo akan kami terjunkan untuk menertibkan parkir," ujarnya.

Berdasarkan pengamatan wartawan koran ini kemarin, puluhan personil dishubkominfo langsung bertugas di Jalan Dhoho. Mereka membantu jukir mengatur parkir. Mereka juga ikut mengatur lalu lintas. Petugas melarang parkir kendaraan dilakukan dua baris. (tyo/fud)
 
Sumber : Jawa Pos

Senin, 14 September 2009

Bisa Coreng Lembaga Legislatif


Imbau Mantan Anggota DPRD Kembalikan Seluruh Mobdin

KEDIRI - Masih adanya anggota lama DPRD Kota Kediri yang belum mengembalikan mobil dinas (mobdin) memantik reaksi rekan-rekannya. Menurut mantan Ketua Komisi A Heru Ansori, mengembalikan mobdin adalah wajib hukumnya. Sebab, kendaraan tersebut bukan milik pribadi mereka. "Kalau yang punya (pemkot, Red) sudah meminta, kita harus mengembalikannya," ujarnya kepada Radar Kediri kemarin.

Seperti diberitakan, pemkot telah mengirimkan surat kepada mereka agar mengembalikan mobdin yang masih dibawa. Jika tidak, 12 unit mobdin berbagai merek itu tidak bisa dihapuskan. Pun demikian, masih saja ada yang membandel dengan membawanya.

Heru mengatakan, dengan tidak mengembalikan mobdin, nama baik anggota dewan periode 2004-2009 akan tercoreng. Hal itu bisa memunculkan persepsi negatif dari masyarakat. Apalagi, sebagian ada yang menjabat lagi.

Kata dia, meski masalah ini belum dibawa ke jalur hukum, sebagai anggota dewan atau wakil rakyat, mereka harus menyadari hak dan kewajibannya. Sehingga, masalah mobdin tidak semakin berlarut-larut. "Saya saja yang tidak terpilih lagi sudah mengembalikan, mengapa yang terpilih malah belum mengembalikan?," ujarnya dengan nada tanya.

Karena itulah, dia mengimbau rekan-rekannya yang masih membawa mobdin untuk segera mengembalikan. Tujuannya, agar nama baik DPRD Kota Kediri tidak tercoreng. "Kalau nanti didem atau dihapus, silakan saja. Yang penting, dikembalikan saja dulu," tandas Heru.

Sementara itu, mantan Ketua Komisi B Muzaini Romli membantah kalau dirinya belum mengembalikan. Menurut dia, mobdin Suzuki Carry yang dibawanya sudah diserahkan ke pemkot Jumat (12/9) lalu. "Saya tidak pernah menghambat proses penarikan mobil dinas," bantahnya.

Sayang, mantan Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) Gatot Adi Prayoga dan mantan Ketua Badan Kehormatan (BK) Tamam Musthofa yang juga masih membawa mobdin belum bisa dimintai komentar. Kemarin, mereka sedang berada di Jogjakarta untuk mengikuti pembahasan draf tata tertib (tatib) dan kode etik DPRD. Dihubungi lewat ponselnya, tidak diangkat.

Sedangkan mantan Ketua Fraksi PDIP Joko Supriyanto berjanji akan menyerahkan mobdin yang dibawanya hari ini. "Senin (hari ini, Red) pasti akan saya serahkan. Sebab, saya taat pada peraturan," janji Joko yang tidak terpilih lagi, pekan lalu.

Secara terpisah, Kapolresta Kediri AKBP Rastra Gunawan melalui Kasatreskrim AKP Slamet Pujiono mengatakan, hingga kemarin belum ada laporan dari pemkot selaku pemilik mobdin kepada polisi. Karena itu, dia belum bisa berbuat banyak.

Terkait adanya unsur pidana jika anggota dewan tidak mengembalikan, Slamet tidak mau gegabah untuk memutuskan. Jika pemkot melaporkan, polisi akan menyelidiki terlebih dulu. Sehingga, masalah tersebut akan menjadi jelas.


sumber jawa pos

H-3, Truk Dilarang Masuk Kota

KEDIRI - Truk-truk besar dan kendaraan besar dipastikan tidak akan masuk jalur di wilayah Kota Kediri pada H-3 menjelang lebaran. Hal itu untuk menghindari terjadinya kemacetan pada jalur-jalur dalam kota yang dianggap rawan kemacetan. "Kami akan alihkan ke jalur lain," ujar Wakapolresta Kediri, Kompol Kuwadi.

Kuwadi mengatakan, pola pengalihan itu juga sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Mengingat setiap kali lebaran, jumlah kendaraan yang melintas di wilayah Kota Kediri mengalami peningkatan, terutama pada pusat-pusat keramaian.

Lalu kendaraan apa saja yang diperbolehkan masuk ke dalam kota? Menurut pria yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kasat Lantas Polres Sidoarjo itu, kendaraan yang diperbolehkan antara lain mobil pribadi, angkutan umum dan bus. Sedangkan truk dan mobil pengangkut berukuran besar akan dialihkan ke jalur alternatif sebelum melintasi wilayah Kota Kediri.

Bisa juga, truk-truk itu bisa tetap berada di dalam wilayah kota asalkan tidak beroperasi. Hanya diparkir untuk sementara waktu sampai diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Jika tetap melanggar, bisa dikenakan tilang. "Karena ukurannya yang besar, bisa memakan badan jalan yang cukup banyak," lanjutnya.

Rencananya, truk-truk besar itu akan diperbolehkan kembali memasuki wilayah Kota Kediri minimal H+3 sesudah lebaran atau ketika arus lalu lintas dinyatakan tidak padat lagi oleh pihak kepolisian.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Kediri, Achmad Sudrajat, mengatakan pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian mengenai larangan itu. Mulai sekarang, dishub sudah melakukan sosialisasi kepada para sopir. "Kami juga mempersiapkan petugas untuk mengatur," ujarnya seusai mengikuti gelar pasukan di Markas Brimob Kediri Sabtu (12/9) lalu.

Menurut Sudrajat, pihaknya juga menempatkan perwakilan dari dishub untuk memantau kondisi lalu lintas di setiap posko lebaran. Selain melarang truk besar yang masuk ke wilayah kota, petugas dari dishub sekaligus akan memantau kepadatan lalu lintas pada setiap jalur.

sumber: Jawa pos

Rabu, 09 September 2009

Puluhan Mobdin Bersiap Mudik

Pemkab-Pemkot Sambut Gembira Pernyataan Gubernur

KEDIRI- Dua pemerintah daerah di Kediri menyambut gembira pernyataan Gubernur Jatim Soekarwo. Baik Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kediri sudah siap untuk menindaklanjuti pernyataan yang membolehkan mobil dinas (mobdin) digunakan untuk mudik lebaran tersebut.

Bahkan, pemkab sudah menyiapkan surat edaran terkait hal itu. Surat edaran akan dikirimkan ke masing-masing pejabat pemegang mobdin dalam waktu dekat.

Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Pemkab Kediri Eko Setiyono, pemkab memang belum mendapat instruksi resmi dari pemprov. Namun, pernyataan gubernur akan digunakan sebagai patokan. "Nanti pemkab akan mengirim surat ke masing-masing satker terkait penggunaan mobil dinas untuk mudik," kata Eko kemarin.

Sebelumnya, pemkab sempat berencana melarang mobdin digunakan untuk mudik. Rencana itu menyusul instruksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar pejabat tidak menggunakan mobdin untuk mudik. Tetapi setelah Gubernur Soekarwo memperbolehkan penggunaan mobil dinas untuk mudik, pemkab akan segera menyosialisasikan hal itu ke masing-masing satker.

Saat ini, di pemkab terdapat 75 mobdin yang dipegang pejabat. Terdiri dari 56 Isuzu Panther untuk camat, kepala dinas, lembaga teknis daerah, dan sekretaris DPRD. Kemudian ada 12 Suzuki APV untuk kepala bagian (kabag) dan kepala perusahaan daerah.

Juga tiga Toyota Vios untuk tiga asisten sekkab. Serta Toyota Altis yang digunakan sekkab. Satu lagi adalah mobil Toyota Fortuner yang merupakan mobdin bupati. Semua mobdin itu boleh digunakan untuk mudik.

Hanya, dengan catatan, pejabat yang menggunakan mobdin untuk mudik tak boleh membebankan biaya operasional kendaraan ke pemerintah. Tapi menjadi tanggungan pribadi para pejabat. Baik itu untuk bahan bakarnya atau perawatan. Sementara, dalam operasional sehari-hari biayanya diklaim ke instansi masing-masing. "Ini bedanya, untuk mudik harus menggunakan uang pribadi," tegas Eko.

Hal serupa juga terjadi di Kota Kediri. Pemkot tak melarang pejabat menggunakan mobdin selama lebaran. Empat puluh mobdin yang ada akan diserahkan ke pejabat pengguna.

"Kalau kami melarang dan mobdin harus dikembalikan, lalu ditaruh di mana?" ujar Kabag Humas Pemkot Nur Muhyar dengan nada tanya.

Menurut Nur, jika semua mobdin dikembalikan dan diparkir di halaman pemkot justru akan berbahaya. Sebab, kendaraan tersebut rawan hilang. "Tidak ada petugas yang akan menjaganya jika diparkir di pemkot," dalihnya.

Selain itu, kata Nur, jika mobdin dibiarkan tak dipanasi mesinnya selama seminggu, kendaraan rentan rusak. Saat hendak digunakan nanti tak bisa langsung pakai.

Belum lagi bagi pejabat yang tak memiliki kendaraan pribadi akan kesulitan bila mobdin tersebut ditarik. Bisa menyebabkan mereka terlambat masuk kantor karena faktor transportasi. Dan itu bisa mengganggu kinerja pemkot.

Tapi Nur Muhyar mengingatkan bahwa pejabat tak bisa seenaknya menggunakan mobdin. Jika sampai ada kerusakan hal itu akan menjadi tanggung jawab pejabat yang bersangkutan.

Ditemui terpisah, Yudi Ayubchan, anggota DPRD Kota Kediri, menilai bahwa mobdin seharusnya hanya digunakan untuk keperluan dinas. "Kalau untuk kegiatan yang lain maka itu tidak boleh," ujarnya.

Tapi Ayub memahami beberapa kendala bila mobdin tak boleh digunakan. Dia menyarankan agar Wali Kota Samsul Ashar harus mengeluarkan surat terkait penggunaan mobdin tersebut. "Kalau mau dipakai mudik harus ada persetujuan dari wali kota," ingatnya. (ut/tyo/fud)

sumber : jawapos

Dewan Ramai-Ramai Gadaikan SK

Belum genap sebulan dilantik, belasan anggota DPRD Kota Kediri menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatannya. Mereka mencari pinjaman uang ke Bank Jatim dan BPR kota. Kabarnya, tiap orang mengajukan pinjaman ratusan juta rupiah.

Dikonfirmasi soal ini, Ketua Sementara DPRD Kota Kediri Wara S. Renny Pramana membenarkan. ''Ada 13 anggota yang mengajukan permohonan rekomendasi pinjaman ke bank menggunakan SK,'' kara Renny saat dihubungi koran ini kemarin.

Di antara jumlah tersebut, sepuluh orang mengajukan pinjaman ke Bank Jatim dan tiga orang ke BPR kota. Nilainya bervariasi, antara Rp 100 juta hingga Rp 200 juta per orang.

Kakak kandung Sekjen DPP PDIP Pramono Anung itu mengatakan bersedia memberikan rekomendasi karena kebutuhan mereka cukup mendesak. Di antaranya, menutup utang saat masa kampanye lalu. ''Semua orang tahu bagaimana model pemilu kita kemarin,'' katanya.

Meski demikian, Renny menegaskan tidak mau kejadian pada periode lalu terulang. Saat itu, anggota dewan terbelit kredit macet di BPR kota. Dan, Direktur BPR Kota Tri Waspodo me­ngancam akan memolisikan mereka. (tyo/jpnn/bh)

sumber : jawapos

Buku : Melihat Demokrasi Kita

Carol C. Gould mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang di dalamnya rakyat memerintah diri sendiri, baik melalui partisipasi langsung dalam merumuskan keputusan-keputusan publik maupun dengan cara memilih wakil-wakil mereka. Atau, biasa disebut dengan istilah dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara teoretis, Indonesia sudah masuk kategori sebagai penganut demokrasi. Tetapi, harus diingat, ia produk impor. Dengan demikian, sebagian kalangan masih meragukan kecocokan budaya politik Indonesia dengan nilai-nilai demokrasi itu.

Ada yang berkeyakinan, budaya politik lokal sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Sebab, rakyat di Nusantara sejak dulu sudah mengenal dan mempraktikkan beberapa nilai demokrasi seperti musyawarah dan gotong royong. Jadi, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengenal nilai-nilai budaya demokrasi. Selain itu, di sejumlah daerah yang hidup dalam masyarakat agraris, terdapat apa yang disebut dengan tradisi berembuk. Bahkan, itu sudah terlembagakan dalam bentuk unik seperti kerapatan nagari, rembuk desa, musyawarah subak, dan forum-forum musyawarah masyarakat desa lainnya.

Tapi kalangan yang lain berpendapat, nilai-nilai budaya politik lokal berbeda (bahkan bertentangan) dengan budaya politik demokratis. Nilai-nilai budaya politik demokratis adalah produk masyarakat Barat yang khas karena ia lahir dari realitas historisnya sendiri. Demokrasi berkembang setelah Eropa berada di bawah dominasi gereja selama abad pertengahan (middle age) yang berakhir dengan reformasi agama pada awal abad ke-16. Di samping itu, demokrasi berkembang secara bertahap selama dua-tiga abad setelah melalui wacana publik yang dimotori oleh para filsuf. Nilai-nilai demokrasi yang terbentuk kemudian menjadi nilai-nilai ideal yang dianggap sebagai kebenaran mutlak (dogmatis).

Maswadi Rauf, misalnya, dalam prolognya untuk buku Demokrasi Lokal ini, justru lebih sepakat dengan kalangan kedua tersebut. Dia menjelaskan, masyarakat Indonesia memang memiliki beberapa nilai demokrasi (seperti musyawarah dan gotong royong), namun nilai-nilai tersebut hanyalah dua unsur di antara sekian banyak unsur penting lainnya yang harus ada apabila demokrasi ingin ditegakkan. Dua unsur itu saja tidak akan mampu menghasilkan sistem politik demokratis karena masih diperlukan sejumlah nilai dan lembaga politik lainnya.

Ada dua nilai penting lainnya yang perlu diperhatikan, yaitu kebebasan dan kesamaan (equality). Dua nilai tersebut tidak terdapat dalam budaya politik lokal Indonesia karena budaya paternalistik yang masih kuat. Dengan begitu, kebebasan masyarakat masih terbatas. Di samping itu, masih terdapat budaya feodalisme dan primordialisme (suku, agama, ras, dan pengelompokan sosial lainnya yang dianut secara emosional) yang justru bertabrakan dengan nilai-nilai budaya demokrasi.

Berdasar dua pandangan itu, tidaklah dapat disimpulkan secara ekstrem bahwa budaya politik demokratis sama sekali tidak memiliki akar sosiokultural dalam masyarakat Indonesia dan atau sebaliknya, nilai-nilai demokrasi sudah hidup dan berkembang dalam budaya lokal masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Persoalan itulah yang sebenarnya ingin dijawab dalam buku Demokrasi Lokal hasil penelitian R. Siti Zuhro dan rekan-rekannya ini. Penelitian tersebut dilakukan di empat tempat di Indonesia, yaitu Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali.

Hasil penelitian itu, antara lain, menjelaskan bahwa proses pelaksanaan demokrasi di Jawa Timur tidak terlalu mengalami kesulitan. Transisi demokrasi di tingkat nasional, mulai Orde Baru sampai era reformasi, kesadaran politik masyarakat cenderung tumbuh dan berkembang relatif pesat, yang pada gilirannya menjadi modalitas demokrasi lokal yang cukup penting di masa yang akan datang. Sekalipun kawasan Jawa Timur terbagi dalam tiga tipologi budaya (arek, mendalungan, dan mataraman), dalam hal dinamika dan partisipasi politik, masyarakatnya tidak berbeda. Hal itu terlihat dalam peningkatan minat masyarakat untuk turut serta dalam pemilihan umum (pilkada dan pilkades), menguatnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas publik, aksi demonstrasi dalam memprotes segala penyelewengan kekuasaan, kritik terhadap kinerja parpol dan pejabat publik, dan sebagainya. Kemudian, itu ditambah dengan peran beragam LSM dan media massa dengan kesadaran politik yang meningkat secara eksponensial (hlm. 84).

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang masyarakatnya dinamis. Di daerah itu, seorang yang bukan bangsawan bisa menjadi pemimpin sepanjang dia memiliki kepintaran (toacca), kekayaan (tosugik), dan keberanian (towarani) (hlm 156).

Kondisi di dua daerah tersebut berbeda dengan yang terjadi di Sumatera Barat dan Bali. Di Sumatera Barat, tidak mudah mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Itu terjadi -di samping karena belum tersosialisasikannya nilai-nilai demokrasi- karena kelompok elite cenderung resistan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Sebab, hal tersebut dianggap menggerogoti kepentingannya, seperti keharusan adanya transparansi. Masyarakat dan elite lokal terbiasa dengan budaya tak demokratis. Antara lain, kekerasan, korupsi, dan penyimpangan kekuasaan. Namun, tidak berarti di daerah tersebut tidak ada nilai-nilai demokrasi. Sebab, karakter terbuka masyarakat Minangkabau juga berimplikasi pada aras sosial, yakni berkembangnya egalitarianisme (hlm 107).

Sedangkan di wilayah Bali, demokrasi justru tidak sama dengan pengertian demokrasi yang dipahami secara universal. Ada nilai-nilai yang dianggap demokratis tapi tidak dilaksanakan dalam praktik demokrasi. Masyarakat setempat menganggapnya sebagai hal yang sudah seharusnya karena ia bersinggungan langsung dengan sistem organisasi sosial dan ritual keagamaan. Dalam hal politik dan kepemimpinan, budaya paternalistik masih cukup kuat. Dengan demikian, tokoh masyarakat dan pemuka agama memiliki kontribusi besar dalam kebijakan publik. Sekalipun demikian, nilai-nilai demokrasi masih memiliki ruang berkembang karena masyarakat setempat terbiasa dengan heterogenitas. Karena itu, egalitarianisme -sebagai salah satu unsur demokrasi- tercipta dengan baik (hlm 212).

Dengan demikian, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini layak untuk dikonsumsi guna memperluas khazanah bagaimana sebenarnya demokrasi bersinggungan dengan budaya politik lokal Indonesia. Sehingga, masyarakat akan dapat menyimpulkan apakah demokrasi cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki heterogenitas tinggi ini ataukah tidak? (*)

Moh. Asy'ari Muthhar, Peneliti PSIK Universitas Paramadina Jakarta

---

Judul Buku : Demokrasi Lokal

Penulis : R. Siti Zuhro dkk

Penerbit : Ombak, Jogjakarta

Cetakan : 2009

Tebal : xviii + 296 halaman

Sumber : Jawa Pos tanggal 10 September 2009

Minggu, 06 September 2009

Susunan Fraksi Demokrat Kota Kediri

Fraksi Demokrat Kota Kediri
  • Ketua      :   Yudi Ayubchan, SH
  • Anggota  :   1. Dra. Nuraida       
                            2. Erita Dewi